Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia.
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain.
Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas.
Efek Teratogenik
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang demikian itu disebut teratogen.
Teratogen adalah: suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal.
Teratologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan abnormal dan malformasi kongenital. Termasuk disini mempelajari klasifikasi, frekuensi, penyebab dan mekanisme perkembangan janin dan embrio yang mengalami penyimpangan.
Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan.
Efek teratogen yang terjadi tergantung dari :
1. Kepekaan genetis janin
2.Masa gestasi
3.Dosis bat yang diberikan
4.Kondisi ibu seperti umur, nutrisi, patologi
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika dipengaruhi oleh:
• besarnya dosis yang diberikan,
• lama pemberian
• saat pemberian serta
• sifat pemberian
• genetik ibu dan janin.
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya obat itu harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.
Kelas antibiotika berdasar sifat aktifitasnya:
1.Bakteriostatik:
Sifat obat yang menghalangi bakteri berkembang biak, tetapi tidak
membunuhnya.
Kloramfenikol,Tetrasiklin, Eritromisin, Linkomisin, Klindamisin, Rifampisin,
Sulfonamid, Trimetoprim
Spektinomisin, Metenamin mandelat, Asam
nalidiksid dan asam oksolinik Nitrofurantoin
2.Bakterisid :
Sifat obat yang dapat membunuh bakteri
Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosid, Polimiksin
Vankomisin,
Basitrasin,Sikloserin.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1.Yang mengganggu metabolisme sel mikroba. Termasuk disini adalah : Sulfonamid,
trimetoprim, PAS, INH
2.Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Termasuk disini adalah:
Penisilin, sefalosporin, sefamisin,
karbapenem,vankomisin
3.Yang merusak keutuhan membran sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Polimiksin B, kolistin, amfoterisin
B, nistatin
4.Yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Termasuk disini adalah :
Streptomisin, neomisin, kanamisin,
gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin,
eritromisin, linkomisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin,
spektinomisin
5.Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Termasuk disini
adalah : Rifampisin,
aktinomisin D, kuinolon.
Dilihat dari daya basminya terhadap mikroba, antibiotika dibagi manjadi kelompok yaitu:
1.Antibiotika yang berspektrum sempit
Antibiotika berspektrum Luas: bekerja efektif terhadap baik bakteri
gram positif
(Staphylococcus aureus, Steptrococcus, Bacillus dan Clostridium) maupun bakteri
gram
negatif (Escherichia, Salmonella, Neisseria, dan Pseudomonas)
2.Antibiotika berspektrum Sempit: hanya efektif terhadap beberapa spesies bakteri
saja.
RESISTENSI
Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotika. Sifat ini bisa merupakan suatu mekanisme alamiah untuk tetap bertahan hidup.
Timbulnya resistensi pada suatu strain mikroba terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih dari mekanisme berikut :
1.Mikroba mensintesis suatu emzim inaktivator atau penghancur antibiotika
2.Mikroba mensintesis enzim baru untuk menggantikan enzim inaktivator/penghancur
antibiotika yang
dihambat kerjanya.
3.Mikroba meningkatkan sintesis metabolit yang bersifat antagonis-kompetitif
terhadap antibiotika
4.Mikroba membentuk jalan metabolisme baru
5.Permeabilitas dinding atau membran sel mikroba menurun untuk antibiotika
6.Perubahan struktur atau komposisi ribosom sel mikroba
FARMAKOKINETIKA ANTIBIOTIKA
Faktor-faktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat adalah: absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan interaksi obat.
Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu punya kemampuan sebagai antimikroba.
Transport antibiotika ditentukan oleh:
• proses difusinya,
• luas daerah transfer,
• kelarutan dalam lemak,
• berat molekul,
• derajat ionisasi,
• koefisien partisi dan perbedaan konsentrasi meternofetal.
EFEK ANTIBIOTIKA PADA KEHAMILAN
Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi efek obat.
Perubahan-perubahan itu adalah :
1.Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2.Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena
peningkatan distribusi volume
(intravaskuler, interstisial dan di dalam
tubuh janin) serta peningkatan cardiac output
3.Kehamilan merubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuh
nya reseptor obat yang baru di
plasenta dan janin
4.Kehamilan dapat merubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus.
Setelah absorpsi obat sampai proses pengeluarannya dari dalam tubuh, terdapat sejumlah proses biologis yang bisa mempengaruhi efek obat.
Kehamilan tidak mempengaruhi semua proses tersebut. Sebagai contoh molekul yang kecil dan larut lemak akan berdifusi secara bebas. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul yang rendah dibawah 250. Dan hanya yang mempunyai berat molekul dibawah 600 yang bisa melewati plasenta.
Akhirnya: walaupun jaringan plasenta mempunyai enzim yang mampu meme- tabolisir obat hampir sekaya hati manusia, tetapi jaringan plasenta hanya bisa sedikit melindungi janin. Bisa dikatakan bahwa tidak ada barier plasenta yang efektif, kecuali untuk protein yang besar. Oleh karena itu janin mengandalkan proses detoksifikasi dan ekskresi pada ibunya.
Pada tahun 1980, Food and Drug Administration memperkenalkan 5 kategori untuk obat-obat yang diberi-kan selama kehamilan yaitu:
Kategori A :
Obat-obat yang menurut studi terkontrol tidak menimbulkan resiko pada janin
Kategori B :
Untuk obat-obat yang berdasarkan studi pada binatang dan manusia tidak menunjukkan resiko yang bermakna.
Kategori C :
Untuk obat-obat yang belum didukung studi adekuat, baik pada binatang maupun pada manusia atau obat-obat yang menunjukkan efek yang merugikan pada studi binatang tetapi belum ada studi pada manusia
Kategori D :
Untuk obat-obat yang ada bukti resikonya pada janin tetapi manfaatnya jauh lebih besar
Kategori X :
Untuk obat-obat yang terbukti mempunyai resiko terhadap janin dan resiko itu lebih berat daripada manfaatnya.
ANTIBIOTIKA DALAM KEHAMILAN , yaitu:
A. PENISILIN
Penisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling luas dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat meng-ikat berbagai jenis radikal.
• Mekanisme kerjanya :dengan menghambat pembentu-kan dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.
• Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan komplit. Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi tergantung dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer. Untuk mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum makan.
• Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu maupun janin, kecuali reaksi alergi.
B. SEFALOSPORIN
Struktur sefalosporin mirip dengan penisilin, yaitu adanya cincin betalaktam yang pada sefalosporin berikatan dengan cincin dihidrotiazin. Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin betalaktam dihubungkan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan subtitusi R2 pada posisi 3 cincin dihidritiazin mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya.
Sefalosporin terbagi dalam 3 kelompok atau generasi yang terutama didasarkan atas aktifitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya.
1.Generasi pertama
Aktifitas anti mikrobanya tidak banyak berbeda dengan penisilin berspektrum
luas, yaitu
mempunyai aktifitas yang baik terhadap gram + aerob dan
beberapa gram - . Keunggulannya dari penisilin
adalah aktifitasnya terhadap
bakteri penghasil penisilinase.
Yang termasuk generasi pertama ialah:
a. Untuk pemberian peroral : Sefaleksin, sefradin, sefadroksil, sefaleksin b.
b. Untuk pemberian IV : Sefazolin, sefalotin, sefapirin
c. Untuk pemberian IM : Sefapirin, sefazolin
2.Generasi kedua
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram + dibandingkan dengan
generasi pertama,
tetapi lebih aktif terhadap gram -.
Yang termasuk generasi kedua
ialah :
a. Untuk pemberian peroral : Sefaklor
b. Untuk pemberian IV dan IM : Sefosinid, sefoksitin, efamandol, sefuroksim,
sefotetan, seforanid.
3.Generasi ketiga
Golongan ini kurang aktif terhadap gram +, tetapi jauh lebih aktif terhadap
gram-.
Yang termasuk generasi ketiga ialah : Sefoperazon, seftriakson,
sefotaksim, moksalaktam, seftizoksim.
Penggunaan sefalosporin dalam obstetrik makin meluas. Obat ini
digunakan sebagai profilaksis dalam seksio sesarea. Dan sampai saat ini
efek teratogenik dalam penggunaan obat ini belum ditemukan.
Transfer transplasental dari sefalosporin cepat dan konsentrasi bakterisidnya
adekuat, baik pada jaringan janin maupun cairan amnion.
C. ERITROMISIN
Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid yang sama-sama mempunyai cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya.
Antibiotika ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Aktivitas invitro paling besar dalam suasana alkalis.
Eritromisin merupakan alternatif pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam kehamilan. Diantara berbagai bentuk eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling baik, tetapi sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena hepatotoksik.
D. KLORAMFENIKOL
Sejak ditemukan pertama kali dan diketahui bahwa daya antimikrobanya kuat, maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat sampai tahun 1950 ketika diketahui bahwa obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
• Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik.
• Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
tertentu.
• Kerjanya dengan jalan menghambat sintesis protein kuman.
• Obat ini dipakai dalam pengobatan infeksi-infeksi anaerob dan dikatakan bahwa
kloramfenikol
berhubungan dengan terjadinya anemia serta dengan terjadinya
“gray baby syndrome” jika digunakan
untuk neonatus.
• Adanya resiko terjadinya “gray baby syndrome” ini menyebabkan
kloramfenikol tidak direkomendasikan untuk pemakaian pada kehamilan.
FARMAKOKINETIK
• Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dg cepat. Kadar puncak dlm darah
tercapai dalam 2 jam.
• Masa paruh eliminasi pd dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari
2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50 % kloramfenikol dlm darah terikat dg albumin.
Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan
otak, cairan serebrospinal dan mata.
• Di dalam hati kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukuronat oleh enzim
glukuronil transferase.
• Dalam waktu 24 jam, 80- 90 % kloramfenikol yg diberikan oral telah diekskresi
melalui ginjal.
• Pd gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol btk aktif tdk banyak berubah tetapi
metabolitnya yg nontoksik mengalami kumulasi.
• Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan
dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Interaksi:
Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol.
lnteraksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfenikol.
Efek Samping :
- Reaksi Hematologik:
Terdapat dalam 2 bentuk.
* Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
* Kelainan darah yang terlihat ialah anemia peningkatan serum iron dan
iron binding capacity.
Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol
dalam serum melampaui 25 mg/ml.
2. Prognosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat ireversibel.
Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Bentuk
yang hebat bermanifestasi sebagai anemia aplastik.
Insidens berkisar antara 1:24.000-50.000.
Efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh
adanya kelainan genetik.
- Reaksi Alergi:
Menimbulkn kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis
Reaksi
Saluran Cerna: Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
- Sindrom Gray:
Pada neonatus, terutama bayi prematur yg mendpt dosis tinggi (200 mg/kgBB) dpt
timbul
sindrom Gray, biasanya pd hr ke 2 sampai hr ke 9 masa terapi, rata-rata hr
ke 4. Mula-mula bayi muntah,
tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tdk teratur,
perut kembung, sianosis dan diare dg tinja
berwarna hijau dan bayi tampak sakit
berat. Pd hr berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna
keabu-abuan: terjadi
pula hipotermia. Angka kematian 40%, sisanya sembuh sempurna.
Efek toksik ini
diduga disebabkan oleh :
Sistem konyugasi oleh enzim glukuronil transferase belum sempurna dan
Kloramfenikol yg tdk terkonyugasi belum dpt diekskresi dg baik oleh ginjal. Utk mengurangi efek samping
ini, dosis kloramfenikol utk bayi berumur kurang dr 1 bln tdk boleh lbh 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur
ini, dosis 50 mg/kgBB biasanya tdk menimbulkan efek samping tsb.
PENGGUNAAN KLINIK
Banyak
perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya
digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya
tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati dan pasien yang
hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus, dosisnya jangan melebihi 25 mg/kgBB
sehari.
E. TETRASIKLIN
• Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan
bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Dikatakan juga bahwa
tetrasiklin mampu bertindak sebagai chelator logam berat, khususnya kalsium.
• Tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam kehamilan. Obat ini
melintas plasenta dengan cepat dan terikat pada tulang dan gigi yang sedang tumbuh.
Karena dapat menyebabkan reaksi toksik yang berat baik pada janin maupun pada
ibu, maka penggunaan obat ini dalam kehamilan harus dihindarkan.
• Pemberian obat ini dalam terimester pertama kehamilan dapat menye-babkan kelainan
pada janin. Pada kehamilan trimester kedua dapat menyebabkan penghambatan
pertumbuhan tulang dan pembentukan gigi. Jika diberikan pada trimester
ketiga obat ini akan disimpan dalam tulang dan gigi.
• Tetrasiklin juga dapat menyebabkan efek toksik pada ibu yaitu terjadinya “acute
fatty necrosis” hati, pankreatitis dan kerusakan ginjal. Kerusakan yang terjadi
pada hati berhubungan dengan dosis yang diberikan, dan ini bisa berakibat fatal.
F. AMINOGLIKOSID
• Aminoglikosid bersifat bakterisid yang terutama tertuju pada basil gram – yang
aerobik. Sedang aktifitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri
fakultatif dalam kondisi anaerobik rendah sekali.
• Termasuk golongan obat ini ialah : streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin,
gentamisin, tobramisin, netilmisin dan sebagainya. Pengaruhnya menghambat
sintesis protein sel mikroba dengan jalan menghambat fungsi ribosom.8
• Pada umumnya obat golongan ini mempunyai reaksi toksik berupa ototoksik dan
nefrotoksik. Ototoksik ditunjuk-kan dengan hilangnya pendengaran (kerusakan
koklear) dan kerusakan vestibular (vertigo, ataksia dan gang-guan
keseimbangan)..Nefrotoksik yang terjadi bisa dike-tahui dengan adanya peningkatan
kadar kreatinin serum dan penurunan clearance kreatinin.
• Walaupun baru streptomisin yang dilaporkan menim-bulkan gangguan pada janin
akibat pemberian pada ibu selama kehamilan dalam jangka waktu yang lama, tetapi
karena obat yang lain potensial ototoksik maka sebaiknya pemakaian obat golongan
aminoglikosid ini dihindarkan selama masa kehamilan.
G. SULFONAMID
• Sulfonamid adalah antimikroba yang digunakan secara sistemik maupun topikal untuk
mengobati dan mencegah beberapa penyakit infeksi. Sebelum ditemukan antibiotik,
sulfonamid merupakan kemoterapeutik yang utama. Kemudian penggunaannya
terdesak oleh antibiotik.
• Dengan ditemukannya preparat kombinasi trimetoprim sulfametoksazol
meningkatkan kembali penggunaan sulfonamid untuk pengobatan penyakit infeksi
tertentu. Nama sulfonamid adalah nama generik derivat paraamino benzen sulfonamid
(sulfanilamide).
• Sulfonamid memperlihatkan spektrum antibakteri yang luas terhadap bakteri
gram + maupun gram -, meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik
lainnya.
• Umumnya hanya bersifat bakteriostatik kecuali pada kadar yang tinggi dalam urin,
sulfonamid bersifat bakterisid.
• Obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dengan mencegah penggunaan PABA (para
amino benzoic acid) oleh bekteri untuk mensintesis PGA
(pteroylglutamic acid).
• Trimetoprim-sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatis pada dua tahap yang
berturutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis.
• Sulfonamid belum diketahui menyebabkan kerusakan pada janin, tetapi jika
diberikan selama kehamilan bisa menimbulkan gangguan pada neonatus.
Sulfonamid berkompetisi dengan bilirubin pada tempat ikatan di albumin
sehingga meningkatkan bilirubin bebas dalam serum. Akibatnya resiko terjadinya
kern-ikterus meningkat. Atas dasar alasan ini obat golongan sulfonamid jangan
diberikan pada trimester akhir kehamilan.
H. METRONIDAZOL
• Obat ini digunakan dalam obstetrik untuk trikomoniasis vagina dan endometritis
postpartum.
• Di dalam studi pada binatang obat ini dikatakan dapat menyebabkan timbulnya
adenomatosis paru, tumor mamae dan karsinoma hepar sehingga dikatakan obat
ini berifat karsinogenik. Tetapi tidak ada studi yang mendukung terjadinya akibat
itu pada manusia. Oleh karena adanya potensi karsinogenik maka obat ini sebaiknya
tidak digunakan dalam kehamilan kecuali betul-betul mutlak diperlukan
untuk pengobatan.
I. ISONIAZID
• Obat ini termasuk obat tuberkulosis yang diketahui menghambat pembelahan
kuman tuberkulosis.
• Isoniazid merupakan obat dengan potensi hepatotoksik yang toksisitasnya
dapat meningkat jika diberikan selama kehamilan. Untuk wanita hamil yang telah
terinfeksi TBC tetapi tidak aktif maka wanita ini tidak perlu profilaksis dengan
INH sampai setelah melahirkan. Tetapi jika telah ada tuberkulosis aktif
pengobatan dengan INH diperbolehkan.
J. NITROFURANTOIN
• Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat ini
biasa digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil ataupun tidak
hamil.
• Nitrofurantoin bisa menyebabkan hemolisis, anemia dan hiperbilirubinemia pada bayi
yang menderita defisiensi enzim G6PD yang dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi
obat ini. Selain potensi tersebut tidak ada efek teratogenik lain yang dilaporkan.
K. KLINDAMISIN
• Klindamisin merupakan derivat linkomisin, tetapi mempunyai sifat yang lebih baik.
Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit efek sampingnya serta pada pemberian peroral
tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.
• Obat ini umumnya digunakan pada infeksi postpartum, tidak biasa digunakan
dalam kehamilan. Walaupun obat ini melintas plasenta dengan cepat dan mencapai
kadar terapeutik yang adekuat pada janin, tetapi tidak dilaporkan adanya efek
teratogenik yang terjadi.
• Pengaruh antibiotik pada wanita yang sedang hamil tidak berbeda jauh dengan wanita
yang tidak hamil. Tetapi penggunaan antibiotika pada wanita hamil harus
memperhitungkan pengaruhnya pada janin yang dikandungnya.
• Dari semua antibiotika, hanya tetrasiklin yang terbukti punya efek merugikan pada
janin bila dipakai sepanjang masa kehamilan.
• Adapun antibiotika yang mempunyai efek atau potensi merugikan pada janin ialah:
Tetrasiklin,aminoglikosid (khususnya streptomisin), sulfonamid, kloramfenikol,
isoniazid, metronidazol, nitrofurantoin.