Saturday, September 15, 2012

ANTIBIOTIKA

Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia.
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain. Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas.

Efek Teratogenik
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang demikian itu disebut teratogen.

Teratogen adalah: suatu obat atau zat yang menyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal.

Teratologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan abnormal dan malformasi kongenital. Termasuk disini mempelajari klasifikasi, frekuensi, penyebab dan mekanisme perkembangan janin dan embrio yang mengalami penyimpangan.

Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan.
Efek teratogen yang terjadi tergantung dari :
1. Kepekaan genetis janin
2.Masa gestasi
3.Dosis bat yang diberikan
4.Kondisi ibu seperti umur, nutrisi, patologi

Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika dipengaruhi oleh:
• besarnya dosis yang diberikan,
• lama pemberian
• saat pemberian serta
• sifat pemberian
• genetik ibu dan janin.

Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya obat itu harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.

Kelas antibiotika berdasar sifat aktifitasnya:
1.Bakteriostatik: Sifat obat yang menghalangi bakteri berkembang biak, tetapi tidak membunuhnya. 
   Kloramfenikol,Tetrasiklin, Eritromisin, Linkomisin, Klindamisin, Rifampisin, Sulfonamid, Trimetoprim
   Spektinomisin, Metenamin mandelat, Asam nalidiksid dan asam oksolinik Nitrofurantoin

2.Bakterisid : Sifat obat yang dapat membunuh bakteri Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosid, Polimiksin
   Vankomisin, Basitrasin,Sikloserin.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
1.Yang mengganggu metabolisme sel mikroba. Termasuk disini adalah : Sulfonamid, trimetoprim, PAS, INH 2.Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Termasuk disini adalah: Penisilin, sefalosporin, sefamisin,
    karbapenem,vankomisin
3.Yang merusak keutuhan membran sel mikroba. Termasuk disini adalah : Polimiksin B, kolistin, amfoterisin
    B, nistatin
4.Yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Termasuk disini adalah : Streptomisin, neomisin, kanamisin,
    gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, eritromisin, linkomisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin,
    spektinomisin
5.Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Termasuk disini adalah : Rifampisin,
    aktinomisin D, kuinolon.

Dilihat dari daya basminya terhadap mikroba, antibiotika dibagi manjadi  kelompok yaitu:
1.Antibiotika yang berspektrum sempit Antibiotika berspektrum Luas: bekerja efektif terhadap baik bakteri
   gram positif (Staphylococcus aureus, Steptrococcus, Bacillus dan Clostridium) maupun bakteri gram
   negatif (Escherichia, Salmonella, Neisseria, dan Pseudomonas)
2.Antibiotika berspektrum Sempit: hanya efektif terhadap beberapa spesies bakteri saja.

RESISTENSI
Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotika. Sifat ini bisa merupakan suatu mekanisme alamiah untuk tetap bertahan hidup.
Timbulnya resistensi pada suatu strain mikroba terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih dari mekanisme berikut :
1.Mikroba mensintesis suatu emzim inaktivator atau penghancur antibiotika
2.Mikroba mensintesis enzim baru untuk menggantikan enzim inaktivator/penghancur antibiotika yang
   dihambat kerjanya.
3.Mikroba meningkatkan sintesis metabolit yang bersifat antagonis-kompetitif terhadap antibiotika 4.Mikroba membentuk jalan metabolisme baru
5.Permeabilitas dinding atau membran sel mikroba menurun  untuk antibiotika
6.Perubahan struktur atau komposisi ribosom sel mikroba


FARMAKOKINETIKA ANTIBIOTIKA

Faktor-faktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat adalah: absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan interaksi obat.
Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu punya kemampuan sebagai antimikroba.
Transport antibiotika ditentukan oleh:
• proses difusinya,
• luas daerah transfer,
• kelarutan dalam lemak,
• berat molekul,
• derajat ionisasi,
• koefisien partisi dan perbedaan konsentrasi meternofetal.


EFEK  ANTIBIOTIKA  PADA  KEHAMILAN

Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi efek obat.

Perubahan-perubahan itu adalah :
1.Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2.Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan distribusi volume 
   (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta peningkatan cardiac output
3.Kehamilan merubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuh nya reseptor obat yang baru di
   plasenta dan janin
4.Kehamilan dapat merubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.

Setelah absorpsi obat sampai proses pengeluarannya dari dalam tubuh, terdapat sejumlah proses biologis yang bisa mempengaruhi efek obat.
Kehamilan tidak mempengaruhi semua proses tersebut. Sebagai contoh molekul yang kecil dan larut lemak akan berdifusi secara bebas. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul yang rendah dibawah 250. Dan hanya yang mempunyai berat molekul dibawah 600 yang bisa melewati plasenta. 
Akhirnya: walaupun jaringan plasenta mempunyai enzim yang mampu meme- tabolisir obat hampir sekaya hati manusia, tetapi jaringan plasenta hanya bisa sedikit melindungi janin. Bisa dikatakan bahwa tidak ada barier plasenta yang efektif, kecuali untuk protein yang besar. Oleh karena itu janin mengandalkan proses detoksifikasi dan ekskresi pada ibunya.

Pada tahun 1980, Food and Drug Administration memperkenalkan 5 kategori untuk obat-obat yang diberi-kan selama kehamilan yaitu:
Kategori A : Obat-obat yang menurut studi terkontrol tidak menimbulkan resiko pada janin
Kategori B : Untuk obat-obat yang berdasarkan studi pada binatang dan manusia tidak menunjukkan resiko yang bermakna.
Kategori C : Untuk obat-obat yang belum didukung studi adekuat, baik pada binatang maupun pada manusia atau obat-obat yang menunjukkan efek yang merugikan pada studi binatang tetapi belum ada studi pada manusia
Kategori D : Untuk obat-obat yang ada bukti resikonya pada janin tetapi manfaatnya jauh lebih besar Kategori X : Untuk obat-obat yang terbukti mempunyai resiko terhadap janin dan resiko itu lebih berat daripada manfaatnya.


ANTIBIOTIKA DALAM KEHAMILAN , yaitu:


A. PENISILIN 

Penisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling luas dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat meng-ikat berbagai jenis radikal.
• Mekanisme kerjanya :dengan menghambat pembentu-kan dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.

• Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan komplit. Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi tergantung dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer. Untuk mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum makan.

 • Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu maupun janin, kecuali reaksi alergi.


B. SEFALOSPORIN 

Struktur sefalosporin mirip dengan penisilin, yaitu adanya cincin betalaktam yang pada sefalosporin berikatan dengan cincin dihidrotiazin. Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin betalaktam dihubungkan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan subtitusi R2 pada posisi 3 cincin dihidritiazin mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya.

Sefalosporin terbagi dalam 3 kelompok atau generasi yang terutama didasarkan atas aktifitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya.
1.Generasi pertama Aktifitas anti mikrobanya tidak banyak berbeda dengan penisilin berspektrum luas, yaitu
   mempunyai aktifitas yang baik terhadap gram + aerob dan beberapa gram - . Keunggulannya dari penisilin
   adalah aktifitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase.

Yang termasuk generasi pertama ialah:
 a. Untuk pemberian peroral : Sefaleksin, sefradin, sefadroksil, sefaleksin b.
 b. Untuk pemberian IV : Sefazolin, sefalotin, sefapirin
 c. Untuk pemberian IM : Sefapirin, sefazolin

2.Generasi kedua Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram + dibandingkan dengan generasi pertama,
    tetapi lebih aktif terhadap gram -.

Yang termasuk generasi kedua ialah :
 a. Untuk pemberian peroral : Sefaklor
 b. Untuk pemberian IV dan IM : Sefosinid, sefoksitin, efamandol, sefuroksim, sefotetan, seforanid.

3.Generasi ketiga
   Golongan ini kurang aktif terhadap gram +, tetapi jauh lebih aktif terhadap gram-.

 Yang termasuk generasi ketiga ialah : Sefoperazon, seftriakson, sefotaksim, moksalaktam, seftizoksim.

 Penggunaan sefalosporin dalam obstetrik makin meluas. Obat ini digunakan sebagai profilaksis dalam seksio sesarea. Dan sampai saat ini efek teratogenik dalam penggunaan obat ini belum ditemukan. Transfer transplasental dari sefalosporin cepat dan konsentrasi bakterisidnya adekuat, baik pada jaringan janin maupun cairan amnion.


C. ERITROMISIN 

Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid yang sama-sama mempunyai cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Antibiotika ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Aktivitas invitro paling besar dalam suasana alkalis. Eritromisin merupakan alternatif pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam kehamilan. Diantara berbagai bentuk eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling baik, tetapi sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena hepatotoksik.


D. KLORAMFENIKOL 

Sejak ditemukan pertama kali dan diketahui bahwa daya antimikrobanya kuat, maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat sampai tahun 1950 ketika diketahui bahwa obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
• Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik.
• Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
• Kerjanya dengan jalan menghambat sintesis protein kuman.
• Obat ini dipakai dalam pengobatan infeksi-infeksi anaerob dan dikatakan bahwa kloramfenikol 
   berhubungan dengan terjadinya anemia serta dengan terjadinya “gray baby syndrome” jika digunakan
   untuk neonatus.
• Adanya resiko terjadinya “gray baby syndrome” ini menyebabkan kloramfenikol tidak direkomendasikan untuk pemakaian pada kehamilan.

FARMAKOKINETIK
• Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dg cepat. Kadar puncak dlm darah tercapai dalam 2 jam.
• Masa paruh eliminasi pd dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50 % kloramfenikol dlm darah terikat dg albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.
• Di dalam hati kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronil transferase.
• Dalam waktu 24 jam, 80- 90 % kloramfenikol yg diberikan oral telah diekskresi melalui ginjal.
• Pd gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol btk aktif tdk banyak berubah tetapi metabolitnya yg nontoksik mengalami kumulasi. 
• Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol. Interaksi: Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenitoin, dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol.
lnteraksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfenikol.

Efek Samping : - Reaksi Hematologik: Terdapat dalam 2 bentuk.
* Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
* Kelainan darah yang terlihat ialah anemia peningkatan serum iron dan iron binding capacity.
     
Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mg/ml. 2. Prognosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Bentuk yang hebat bermanifestasi sebagai anemia aplastik. Insidens berkisar antara 1:24.000-50.000. Efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh adanya kelainan genetik.

- Reaksi Alergi: Menimbulkn kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis
   Reaksi Saluran Cerna: Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
- Sindrom Gray: Pada neonatus, terutama bayi prematur yg mendpt dosis tinggi (200 mg/kgBB) dpt timbul
   sindrom Gray, biasanya pd hr ke 2 sampai hr ke 9 masa terapi, rata-rata hr ke 4. Mula-mula bayi muntah,
   tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tdk teratur, perut kembung, sianosis dan diare dg tinja
   berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pd hr berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna
   keabu-abuan: terjadi pula hipotermia. Angka kematian 40%, sisanya sembuh sempurna. Efek toksik ini
   diduga disebabkan oleh : Sistem konyugasi oleh enzim glukuronil transferase belum sempurna dan
   Kloramfenikol yg tdk terkonyugasi belum dpt diekskresi dg baik oleh ginjal. Utk mengurangi efek samping
   ini, dosis kloramfenikol utk bayi berumur kurang dr 1 bln tdk boleh lbh 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur
   ini, dosis 50 mg/kgBB biasanya tdk menimbulkan efek samping tsb. PENGGUNAAN KLINIK Banyak
   perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya
   digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya
   tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
   Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati dan pasien yang
   hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus, dosisnya jangan melebihi 25 mg/kgBB
   sehari.


E. TETRASIKLIN 

• Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Dikatakan juga bahwa tetrasiklin mampu bertindak sebagai chelator logam berat, khususnya kalsium.
• Tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam kehamilan. Obat ini melintas plasenta dengan cepat dan terikat pada tulang dan gigi yang sedang tumbuh. Karena dapat menyebabkan reaksi toksik yang berat baik pada janin maupun pada ibu, maka penggunaan obat ini dalam kehamilan harus dihindarkan.
• Pemberian obat ini dalam terimester pertama kehamilan dapat menye-babkan kelainan pada janin. Pada kehamilan trimester kedua dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tulang dan pembentukan gigi. Jika diberikan pada trimester ketiga obat ini akan disimpan dalam tulang dan gigi.
• Tetrasiklin juga dapat menyebabkan efek toksik pada ibu yaitu terjadinya “acute fatty necrosis” hati, pankreatitis dan kerusakan ginjal. Kerusakan yang terjadi pada hati berhubungan dengan dosis yang diberikan, dan ini bisa berakibat fatal.

F. AMINOGLIKOSID 
• Aminoglikosid bersifat bakterisid yang terutama tertuju pada basil gram – yang aerobik. Sedang aktifitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatif dalam kondisi anaerobik rendah sekali.
• Termasuk golongan obat ini ialah : streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, netilmisin dan sebagainya. Pengaruhnya menghambat sintesis protein sel mikroba dengan jalan menghambat fungsi ribosom.8
• Pada umumnya obat golongan ini mempunyai reaksi toksik berupa ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksik ditunjuk-kan dengan hilangnya pendengaran (kerusakan koklear) dan kerusakan vestibular (vertigo, ataksia dan gang-guan keseimbangan)..Nefrotoksik yang terjadi bisa dike-tahui dengan adanya peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan clearance kreatinin.
• Walaupun baru streptomisin yang dilaporkan menim-bulkan gangguan pada janin akibat pemberian pada ibu selama kehamilan dalam jangka waktu yang lama, tetapi karena obat yang lain potensial ototoksik maka sebaiknya pemakaian obat golongan aminoglikosid ini dihindarkan selama masa kehamilan.

G. SULFONAMID
• Sulfonamid adalah antimikroba yang digunakan secara sistemik maupun topikal untuk mengobati dan mencegah beberapa penyakit infeksi. Sebelum ditemukan antibiotik, sulfonamid merupakan kemoterapeutik yang utama. Kemudian penggunaannya terdesak oleh antibiotik.
• Dengan ditemukannya preparat kombinasi trimetoprim sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamid untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu. Nama sulfonamid adalah nama generik derivat paraamino benzen sulfonamid (sulfanilamide).
• Sulfonamid memperlihatkan spektrum antibakteri yang luas terhadap bakteri gram + maupun gram -, meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik lainnya.
• Umumnya hanya bersifat bakteriostatik kecuali pada kadar yang tinggi dalam urin, sulfonamid bersifat bakterisid.
• Obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dengan mencegah penggunaan PABA (para amino benzoic acid) oleh bekteri untuk mensintesis PGA (pteroylglutamic acid).
• Trimetoprim-sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatis pada dua tahap yang berturutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis.
• Sulfonamid belum diketahui menyebabkan kerusakan pada janin, tetapi jika diberikan selama kehamilan bisa menimbulkan gangguan pada neonatus. Sulfonamid berkompetisi dengan bilirubin pada tempat ikatan di albumin sehingga meningkatkan bilirubin bebas dalam serum. Akibatnya resiko terjadinya kern-ikterus meningkat. Atas dasar alasan ini obat golongan sulfonamid jangan diberikan pada trimester akhir kehamilan.


H. METRONIDAZOL
• Obat ini digunakan dalam obstetrik untuk trikomoniasis vagina dan endometritis postpartum. 
• Di dalam studi pada binatang obat ini dikatakan dapat menyebabkan timbulnya adenomatosis paru, tumor mamae dan karsinoma hepar sehingga dikatakan obat ini berifat karsinogenik. Tetapi tidak ada studi yang mendukung terjadinya akibat itu pada manusia. Oleh karena adanya potensi karsinogenik maka obat ini sebaiknya tidak digunakan dalam kehamilan kecuali betul-betul mutlak diperlukan untuk pengobatan.

I. ISONIAZID 
• Obat ini termasuk obat tuberkulosis yang diketahui menghambat pembelahan kuman tuberkulosis.
• Isoniazid merupakan obat dengan potensi hepatotoksik yang toksisitasnya dapat meningkat jika diberikan selama kehamilan. Untuk wanita hamil yang telah terinfeksi TBC tetapi tidak aktif maka wanita ini tidak perlu profilaksis dengan INH sampai setelah melahirkan. Tetapi jika telah ada tuberkulosis aktif pengobatan dengan INH diperbolehkan.

 J. NITROFURANTOIN 
• Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat ini biasa digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil ataupun tidak hamil.
• Nitrofurantoin bisa menyebabkan hemolisis, anemia dan hiperbilirubinemia pada bayi yang menderita defisiensi enzim G6PD yang dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi obat ini. Selain potensi tersebut tidak ada efek teratogenik lain yang dilaporkan.

K. KLINDAMISIN
• Klindamisin merupakan derivat linkomisin, tetapi mempunyai sifat yang lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit efek sampingnya serta pada pemberian peroral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.
• Obat ini umumnya digunakan pada infeksi postpartum, tidak biasa digunakan dalam kehamilan. Walaupun obat ini melintas plasenta dengan cepat dan mencapai kadar terapeutik yang adekuat pada janin, tetapi tidak dilaporkan adanya efek teratogenik yang terjadi.
• Pengaruh antibiotik pada wanita yang sedang hamil tidak berbeda jauh dengan wanita yang tidak hamil. Tetapi penggunaan antibiotika pada wanita hamil harus memperhitungkan pengaruhnya pada janin yang dikandungnya.
• Dari semua antibiotika, hanya tetrasiklin yang terbukti punya efek merugikan pada janin bila dipakai sepanjang masa kehamilan.
• Adapun antibiotika yang mempunyai efek atau potensi merugikan pada janin ialah: Tetrasiklin,aminoglikosid (khususnya streptomisin), sulfonamid, kloramfenikol, isoniazid, metronidazol, nitrofurantoin.

No comments:

Post a Comment